25 November 2008

Agar Obesitas Tak Mampir

ADA benarnya falsafah bangsa Arab soal pola makan. Warga gurun pasir itu, dalam kehidupan sehari-hari, memiliki prinsip: saat pagi sarapanlah seperti raja, lalu ketika siang makanlah layaknya pangeran, sedangkan pada malam makanlah tak ubahnya pengemis.

Pada orang yang disiplin dengan pola makan seperti itu, ia menutup ruang untuk terjerumus dalam kebiasaan mengemil dan pola makan tidak secara berlebihan. Masalahnya, gaya hidup saat ini kerap kali membuat orang tidak bisa konsisten dengan sebuah pola. Bahkan meminggirkan pola makan sehat. Dari orang tua, kebiasaan itu menurun kepada anak-anaknya.

Sebuah survei di Inggris beberapa waktu lalu menyebutkan, orang tua menjadi pihak yang selalu disalahkan untuk pola makan buruk anak-anak sekarang karena merekalah yang dinilai paling bertanggung jawab.

Meski responden menetapkan tugas terbesar (88 persen) ada di pundak orang tua, ternyata pola makan anak juga dipengaruhi oleh sekolah, industri makanan, dan media. Karena ketika anak-anak ditanya jenis hidangan apa yang mereka suka, biasanya akan bergantung pada tayangan komersial di televisi. Apalagi bila produk makanan itu memunculkan bintang anak-anak atau menawarkan hadiah, mereka langsung akan menjadi penggemarnya.

Hal serupa terjadi di negeri ini. Lihat saja kebiasaan Farhan, 6,5 tahun. Setiap minggu, ia mengajak ibunya ke restoran cepat saji.

‘’Aku mau hadiahnya,’’ ujarnya.

Sang bunda heran, dari mana si bocah tahu ada sederet hadiah jika membeli paket makanan di restoran tersebut.

‘’Aku tahu dari TV,’’ jawabannya simpel.

Karena pemicu seperti itulah Ganesja Harimutri, spesialis jantung anak dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, menyimpulkan bahwa anak-anak kini begitu menggandrungi junk food.

‘’Makanan ringan berkalori dan berkadar garam tinggi banyak dikonsumsi anak-anak sekarang,’’ katanya.

Tak cuma itu, mereka doyan mengemil biskuit, es krim, dan permen yang berkadar gula tinggi.

Pola pikir praktis orang tua yang tidak mau repot memasak menjadi alasan lain kebiasaan buruk pada anak. Belum lagi minimnya rutinitas kegiatan fisik, yang membuat penimbunan lemak tubuh berlebih dan berpotensi obesitas.

Dokter spesialis anak Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Tinuk Agung Meilany, pada 2002 meneliti prevalensi obesitas anak di tiga sekolah dasar swasta di Jakarta Timur. Hasilnya, angka kejadian obesitas sebesar 27,5 persen. Teorinya, remaja yang punya berat badan berlebih berpotensi besar mengalami obesitas.

Menurut ahli gizi Rumah Sakit Melinda, Bandung, Johanes Chandrawinata, bila pada usia sekolah dasar sudah mengalami kegemukan di atas persentil grafik Kartu Menuju Sehat (KMS) anak, potensi obesitas ketika dewasa sangat besar.

‘’Kelebihan asupan kalori akan membuat sel lemak bertambah dan berkembang,’’ ujarnya.

Karena itu, hipotesis Johanes: hampir selalu anak berbadan gemuk berlebih tetap konsisten bentuknya seperti itu hingga mereka dewasa.

Karena itu, Johannes mengatakan langkah yang paling efektif untuk mencegah obesitas pada anak adalah pengawasan orang tua. Orang tua diharapkan selalu memperhatikan pola makan anak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makanan, sehingga obesitas tidak terjadi pada anak mereka.

Namun, tetap diingat, di samping pola makan dan gaya hidup, alasan genetika tentunya mempengaruhi perkembangan obesitas. Anak yang orang tuanya obesitas ada kemungkinan mengalami obesitas 10 kali lipat dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua dengan berat badan normal.

Adapun obesitas pada anak bisa mengakibatkan sejumlah penyakit menahun, yakni gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, diabetes tipe 2 pada remaja, hipertensi, dislipidemia, atau berbagai gangguan pada hati, saluran cerna, bahkan tidur. (sumber : tempo interaktif)


Tidak ada komentar: